Selasa, 09 Juli 2013 0 komentar

Aku ingin merangkulnya, merangkulku


Menangislah,
Air mata itu takburuk.
Mereka membantumu tersenyum
Mereka membantumu mengangkat beban itu.
Di sana, di pikiranmu,
Tempat yang sarat akan pilu.
Di sini, di hatimu,
Kau tumpuk luka untuknya.
Aku melihatmu menarik ujung bibirmu, namun aku tidak melihat senyuman di sana.
Sakit?
Aku tahu itu. Aku tahu apa yang kau rasakan, aku tahu pilu, aku tahu kenangan, aku tahu kenyataan, aku tahu bahwa kau hanya perlu mengerti.
Ingatan itu hanya bagian dari masa lalumu.
Aku tak memaksamu tersenyum,
Aku hanya berharap kau menangis. Aneh bukan?
Berhentilah menumpuk beban itu,
Dan berhentilah menjadi orang asing.
Aku mengulurkan tanganku untuk meraihmu, andai saja bisa,
Aku ingin merangkulmu, akuingin merangkulku.
Namun kau hanya wujud dari refleksiku.
Menangislah Sil,
Untukmu, untuknya, dan terakhir kali.
0 komentar

Sudah Kau cium aromanya? Seperti lagu lama


Aku mengulurkan tanganku,Membiarkan hujan menyentuhnyaYa, hal ini terasa begitu klasik dan melankolisNamun entah mengapa, hal ini malah membuat perasaanku begitu tenangRasanya seperti aku tidak pernah terbebani.Semacam tangisku yang diwakilkan pada jutaan mereka yang jatuh.Rasanya seperti menangis, namun dalam hatiku.Sudah kau cium aromanya?Seperti lagu lama.Apa disana rintik-rintik kecil ini juga berjatuhan?Mengabarimu tentang rinduku?Aku harap Kau melihat hujan yang sama denganku, menyentuhnya, dan mengerti
Kamis, 27 Juni 2013 0 komentar

Mengerti atau tidak..


Mengharapkan sesuatu yang mungkin sama sekali tak mampu ku jangkau, apa kau mengerti apa maksud tatapanku?
bantu aku ucap sederet kata
bantu aku ungkap seuntai kalimat
dengar..
aku menyayangimu
aku hanya mampu menatapmu jauh, dan aku tahu kau bahkan tak menyadarinya. Apa aku salah?
0 komentar

Hujan

         
  Tetes- tetes hujan terdengar sayup dan sejuk. Aroma khas saat mereka menyentuh tanah menyeruak dan membiaskan hal yang sama setahun lalu. Aku berdiri di depan ruang kelasku yang sudah kosong. Aku berdiri mematung dan menatap menerawang diantara tetes-tetes kecil air langit. Apakah dia menangis? Hal itu yang selalu kutanyakan pada sosok yang paling kucintai di dunia.yang selalu mengepang rambutku sebelum aku pergi ke sekolah. Ia memayungiku meskipun sebagian tubuhnya basah karena rintikan mungil itu.

            Hari ini semua begitu kosong, seperti saat aku merindukan bunyi tiktok jam di kamarku. Semacam merindukan hal yang biasa dilakukan. Aku mengerjapkan mataku, tak terasa hampir setengah jam aku menunggu rintik itu mereda. Awan masih menyelimuti atap kota-kota, dan memberikan rona kelabu. Aku melangkahkan kakiku melewati jalanan yang becek. Melewati satu dua gang sempit dan perkampungan. Aku masih menggendong tas ranselku yang terasa mencengkram pundakku keras.  15 menit lagi aku akan sampai di perempatan jalan menuju tempat itu. Aku semakin meneguhkan hatiku, terlebih karena sekarang adalah tanggal 21 september. Ini adalah hari penting.
0 komentar

Dandelion


            Aku hanya berjalan menunduk menatap jalanan yang tenggelam oleh guguran daun semerah darah. Aku menarik napas dan aroma musim gugur seketika menyeruak mengisi rongga dadaku. Langit begitu cerah dengan lelehan awan jingga, namun entahlah bagiku ini semua terasa menyakitkan. Aku tak mampu memandang jalanku dengan benar, karena cairan yang menggenang di pelupuk mataku.
Ini musim gugur terakhir untuknya. Sesuatu seolah menusuk rongga dadaku saat aku mengingatnya. Setiap langkah yang kulewati di jalan ini bersamanya. Daun-daun hanya menari dan jatuh seolah tak ada apapun yang terjadi.
Aku mengatupkan rahangku , memejamkan mata dan cairan di mataku tak mampu lagi kubendung. Perasaan ini masih nampak jelas seperti saat aku pertama kali merasakannya.
Aku lelah menunggu datangnya keajaiban, aku lelah menunggu bintang jatuh untuk sekedar berharap. Angin bahkan tak ragu menyibakkan kebenaran bahwa aku bermimpi terlalu jauh.
 
;