Kamis, 27 Juni 2013

Hujan

         
  Tetes- tetes hujan terdengar sayup dan sejuk. Aroma khas saat mereka menyentuh tanah menyeruak dan membiaskan hal yang sama setahun lalu. Aku berdiri di depan ruang kelasku yang sudah kosong. Aku berdiri mematung dan menatap menerawang diantara tetes-tetes kecil air langit. Apakah dia menangis? Hal itu yang selalu kutanyakan pada sosok yang paling kucintai di dunia.yang selalu mengepang rambutku sebelum aku pergi ke sekolah. Ia memayungiku meskipun sebagian tubuhnya basah karena rintikan mungil itu.

            Hari ini semua begitu kosong, seperti saat aku merindukan bunyi tiktok jam di kamarku. Semacam merindukan hal yang biasa dilakukan. Aku mengerjapkan mataku, tak terasa hampir setengah jam aku menunggu rintik itu mereda. Awan masih menyelimuti atap kota-kota, dan memberikan rona kelabu. Aku melangkahkan kakiku melewati jalanan yang becek. Melewati satu dua gang sempit dan perkampungan. Aku masih menggendong tas ranselku yang terasa mencengkram pundakku keras.  15 menit lagi aku akan sampai di perempatan jalan menuju tempat itu. Aku semakin meneguhkan hatiku, terlebih karena sekarang adalah tanggal 21 september. Ini adalah hari penting.
            Tepat setelah melewati tiga rumah sederhana bercat serasi, aku berbelok ke jalanan yang agak sepi, hanya jalan setapak dengan rumput-rumput mati bekas injakkan banyak orang. Aku berhenti dan menyibakkan beberapa ilalang yang menghalangi. Tempat ini terasa asing, rupanya aku sudah lama tidak membersihkannya. Aku berdiari di depan sebuah makam yang hampir penuh dengan rumput-rumput liar. Aku menatapnya, terasa ada sesuatu bergemerisik di hatiku. Semacam perasaan senang dan sedih bercampur. Aku berjongkok dan dan mengambil beberapa helai rumput liar dan mencabutinya. Aku mengelus nisannya,terdiam dan menunggu hatiku terasa lebih ringan.

“ Hai Ibu, apa kabar?”
Aku tersenyum, mataku terasa memanas dan berair. Aku menarik napas dan melanjutkan perkataanku.
“Hari ini tanggal 21 September, seharusnya Ingga menatap ibu di usia 45 ibu. Maaf, ingga tidak membawa apapun hari ini.hanya setangkai bunga Lili kesukaan Ibu.”
Aku menyeka air mataku yang hamper menetes, merogoh ranselku dan mengeluarkan setangkai bunga putih yang sudah tidak segar lagi. Aku masih mencium baunya, bau yang biasa memenuhi ruang duduk tempat ibu biasa membaca buku disana. Aku meletakannya di atas makam ibu.

“Selamat ulang tahun Ibu, terima kasih telah melahirkannku. Terimakasih karena ibu telah menjadi ibu yang baik untuk Ingga. Maaf karena Ingga belum sempat membahagiaakan Ibu. Maaf karena Ingga belum sempat memberikan apapun untuk Ibu.”

Air di mataku tak mampu lagi kubendung, aku benar-benar merindukan saat itu, menatap matanya dan menyentuh pipinya yang hangat dan merona, dengan bau tubuhnya yang khas dan menenangkan. Aku merindukannya. Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya menunduk dan tetes-tetes kecil air langit kembali turun.
Aku mengangkat wajahku dan terasa seseorang menyentuh pundakku. Aku menengadah dan mendapati seseorang berdiri dan membawa payung.

“Neng hujan Neng, lagi pula sudah sore, sebaiknya Eneng pulang.”
Rupanya Mang Yanto, penjaga pemakaman disini. Keluargaku sudah mengenalnya, termasuk ibuku.aku berdiri dan ia memberiku payung yang dibawanya.
“Terima kasih Emang.”

Aku tersenyum dan meraihnya.membalikkan badanku dan berjalan perlahan. Pikiranku masih belum kembali dari saat itu, saat dimana ibu masih memelukku. Saat dimana ibu masih selalu membacakan cerita sebelum aku tidur.disini sekarang ibu terbaring, bermimpi panjang dalam tidurnya yang lelap. Setahun lalu Ia mengakhiri rasa sakitnya, mengembuskan nafas terkhirnya,dengan lembut dan tersenyum dalam tidurnya. Aku senang karena ibu bisa tertidur dengan tenang,dan tak lagi meringgis menahan sakit. Tapi mengapa, mengapa harus Ibu yang Engkau ambil, Tuhan?

Aku berhenti berjalan melihat menengadah dan menyadari hujan mereda. Aku menutup payungku, awan kelabu bergerak anggun membiarkan mentari mengintip di celah-celahnya. Aku menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan.menyeka air di mataku dan tersenyum. Ternyata mereka tidak sedang menangis, rintik-rintik kecil itu bukan jelmaan dari pilu. Mereka jatuh untuk memudarkan warna kelabu pada awan. Mereka mengajarkan kesabaran pada langit yang menunggu untuk kembali biru.

Mungkin benar yang dijelaskan hujan. Semua hal tak pernah terjadi tanpa alasan. Dan aku yakin, ada maksud lain dibalik Tuhan yang memanggil ibu lebih cepat,sebelum aku benar-benar menyadari waktunya begitu terbatas. Namun detik ini Kau kirim aku malaikat yang mengajariku makna kelabu. Hujan.
***
“dan peraih juara pertama pada lomba karya tulis ini adalah Lingga Putri Anara.”
Aku melangkahkan kakiku, dan berdiri di podium. Aku menatap ribuan orang yang bertepuk tangan. Aku tersenyum saat juri mengalungkan medali di leherku.

Hingga detik ini aku masih berharap ibu menyambut dan memelukku sebagai ucapan selamat. Tersenyum dan membelai rambutku. Atau membelikanku coklat dan es krim. Namun hal itu takkan pernah lagi terulang. Sekarang ibu telah di surga sana. Aku harap ibu bahagia melihatku.  Menatapku dan melambaikan tangannya. Aku membalas senyumannya, meskipun aku hanya menatap lagit-langit ruangan ini.
“Ingga sayang Ibu.”

0 komentar:

Posting Komentar

leave the coment please

 
;