Hari ini semua begitu kosong,
seperti saat aku merindukan bunyi tiktok jam di kamarku. Semacam merindukan hal
yang biasa dilakukan. Aku mengerjapkan mataku, tak terasa hampir setengah jam
aku menunggu rintik itu mereda. Awan masih menyelimuti atap
kota-kota, dan memberikan rona kelabu. Aku melangkahkan kakiku melewati jalanan
yang becek. Melewati satu dua gang sempit dan perkampungan. Aku masih
menggendong tas ranselku yang terasa mencengkram pundakku keras. 15 menit lagi aku akan sampai di perempatan
jalan menuju tempat itu. Aku semakin meneguhkan hatiku, terlebih karena
sekarang adalah tanggal 21 september. Ini adalah hari penting.
Tepat setelah melewati tiga rumah
sederhana bercat serasi, aku berbelok ke jalanan yang agak sepi, hanya jalan
setapak dengan rumput-rumput mati bekas injakkan banyak orang. Aku berhenti dan
menyibakkan beberapa ilalang yang menghalangi. Tempat ini terasa asing,
rupanya aku sudah lama tidak membersihkannya. Aku berdiari di depan sebuah
makam yang hampir penuh dengan rumput-rumput liar. Aku menatapnya, terasa ada
sesuatu bergemerisik di hatiku. Semacam perasaan senang dan sedih bercampur.
Aku berjongkok dan dan mengambil beberapa helai rumput liar dan mencabutinya.
Aku mengelus nisannya,terdiam dan menunggu hatiku terasa lebih ringan.
“
Hai Ibu, apa kabar?”
Aku
tersenyum, mataku terasa memanas dan berair. Aku menarik napas dan melanjutkan
perkataanku.
“Hari
ini tanggal 21 September, seharusnya Ingga menatap ibu di usia 45 ibu. Maaf,
ingga tidak membawa apapun hari ini.hanya setangkai bunga Lili kesukaan Ibu.”
Aku menyeka air mataku yang hamper menetes,
merogoh ranselku dan mengeluarkan setangkai bunga putih yang sudah tidak segar
lagi. Aku masih mencium baunya, bau yang biasa memenuhi ruang duduk tempat ibu
biasa membaca buku disana. Aku meletakannya di atas makam ibu.
“Selamat
ulang tahun Ibu, terima kasih telah melahirkannku. Terimakasih karena ibu telah
menjadi ibu yang baik untuk Ingga. Maaf karena Ingga belum sempat
membahagiaakan Ibu. Maaf karena Ingga belum sempat memberikan apapun untuk
Ibu.”
Air di mataku tak mampu lagi kubendung, aku
benar-benar merindukan saat itu, menatap matanya dan menyentuh pipinya yang
hangat dan merona, dengan bau tubuhnya yang khas dan menenangkan. Aku
merindukannya. Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya menunduk dan tetes-tetes
kecil air langit kembali turun.
Aku mengangkat wajahku dan terasa seseorang
menyentuh pundakku. Aku menengadah dan mendapati seseorang berdiri dan membawa payung.
“Neng
hujan Neng, lagi pula sudah sore, sebaiknya Eneng pulang.”
Rupanya Mang Yanto, penjaga pemakaman disini.
Keluargaku sudah mengenalnya, termasuk ibuku.aku berdiri dan ia memberiku payung
yang dibawanya.
“Terima
kasih Emang.”
Aku tersenyum dan meraihnya.membalikkan
badanku dan berjalan perlahan. Pikiranku masih belum kembali dari saat itu,
saat dimana ibu masih memelukku. Saat dimana ibu masih selalu membacakan cerita
sebelum aku tidur.disini sekarang ibu terbaring, bermimpi panjang dalam
tidurnya yang lelap. Setahun lalu Ia mengakhiri rasa sakitnya, mengembuskan nafas
terkhirnya,dengan lembut dan tersenyum dalam tidurnya. Aku senang karena ibu bisa
tertidur dengan tenang,dan tak lagi meringgis menahan sakit. Tapi mengapa,
mengapa harus Ibu yang Engkau ambil, Tuhan?
Aku berhenti berjalan melihat menengadah dan
menyadari hujan mereda. Aku menutup payungku, awan kelabu bergerak anggun
membiarkan mentari mengintip di celah-celahnya. Aku menarik napas panjang dan
menghembuskannya pelan.menyeka air di mataku dan tersenyum. Ternyata mereka
tidak sedang menangis, rintik-rintik kecil itu bukan jelmaan dari pilu. Mereka
jatuh untuk memudarkan warna kelabu pada awan. Mereka mengajarkan kesabaran
pada langit yang menunggu untuk kembali biru.
Mungkin benar yang dijelaskan hujan. Semua hal
tak pernah terjadi tanpa alasan. Dan aku yakin, ada maksud lain dibalik Tuhan
yang memanggil ibu lebih cepat,sebelum aku benar-benar menyadari waktunya
begitu terbatas. Namun detik ini Kau kirim aku malaikat yang mengajariku makna
kelabu. Hujan.
***
“dan
peraih juara pertama pada lomba karya tulis ini adalah Lingga Putri Anara.”
Aku melangkahkan kakiku, dan berdiri di
podium. Aku menatap ribuan orang yang bertepuk tangan. Aku tersenyum saat juri
mengalungkan medali di leherku.
Hingga detik ini aku masih berharap ibu
menyambut dan memelukku sebagai ucapan selamat. Tersenyum dan
membelai rambutku. Atau membelikanku coklat dan es krim. Namun hal itu takkan
pernah lagi terulang. Sekarang ibu telah di surga sana. Aku harap ibu bahagia
melihatku. Menatapku dan melambaikan
tangannya. Aku membalas senyumannya, meskipun aku hanya menatap lagit-langit
ruangan ini.
“Ingga
sayang Ibu.”
0 komentar:
Posting Komentar
leave the coment please