Aku hanya berjalan menunduk
menatap jalanan yang tenggelam oleh guguran daun semerah darah. Aku menarik
napas dan aroma musim gugur seketika menyeruak mengisi rongga dadaku. Langit
begitu cerah dengan lelehan awan jingga, namun entahlah bagiku ini semua terasa
menyakitkan. Aku tak mampu memandang jalanku dengan benar, karena cairan yang
menggenang di pelupuk mataku.
Ini musim gugur terakhir
untuknya. Sesuatu seolah menusuk rongga dadaku saat aku mengingatnya. Setiap
langkah yang kulewati di jalan ini bersamanya. Daun-daun hanya menari dan jatuh
seolah tak ada apapun yang terjadi.
Aku mengatupkan rahangku ,
memejamkan mata dan cairan di mataku tak mampu lagi kubendung. Perasaan ini
masih nampak jelas seperti saat aku pertama kali merasakannya.
Aku lelah menunggu datangnya
keajaiban, aku lelah menunggu bintang jatuh untuk sekedar berharap. Angin
bahkan tak ragu menyibakkan kebenaran bahwa aku bermimpi terlalu jauh.
***
Dulu aku selalu menyimpan
kertas-kertasku disini. Aku lebih sering menghasbiskan waktuku dengan
menuliskan apa yang aku rasakan pada secarik kertas dan menyimpannya di bawah
pohon tua di ujung jalan ini. Akupun tak mengerti mengapa aku melakukannya.
Namun entahlah, hatiku merasa hal itu benar seolah setumpuk beban terangkat
dari hatiku setelah aku melakukannya. Hinga suatu hari seseorang menyimpan setangkai mawar yang
dililiti kertas. Aku membuka gulungan kertas berwarna coklat muda yang khas.
Namun aku tak menemukan tulisan lain pada kertas itu selain inisial seseorang.
Jantungku rasanya ingin meloncat setelah aku menyadari orang itu adalah orang
yang selalu kutuliskan pada lembaran kertas yang kutulis disini. Rasanya aku
ingin berteriak dan tertawa.
***
Ia mengisi setiap lembar kertas
yang kutulis di pohon tua ini. Begitu pula hidupku, aku tak percaya ia
melangkah bersamaku melewati jalanan itu.aku tak percaya dunia mendengar
doa-doaku. Rasanya seperti mimpi. Namun rasa sakit itu begitu nyata saat aku
mencubit diriku sendiri.
***
Namun disaat dunia begitu indah,
dunia malah membalikkan keadaan dan waktu sangat tak adil. Kini mereka seolah
tak menghiraukan senyumku lagi. Ia mengambil senyum seseorang yang begitu
penting dalam hidupku dan menggantinya dengan rasa sakit.
Jantungku seolah remuk saat
mendengar dokter menyebutnya limfoma. Penyakit itu mengerogoti kekebalan
tubuhnya membuatnya tak lagi seceria dulu. Meskipun ia mencoba melengkungkan
kedua sisi bibirnya, namun aku melihat rasa sakit disana.
***
Aku mengingat setiap langkah yang
kita lewati. Aku lelah menghitung setiap putaran jam yang ia lalui dengan rasa
sakit. Aku lelah berharap ia akan kembali tersenyum.
Aku tahu sebenarnya ia tak pernah
tersenyum, sekalipun ia mencoba melengkungkan kedua sisi bibirnya, aku tak
melihatnya disana.
Aku ingat saat ia mengisi setiap
celah jariku dan menggenggamnya. Tangannya begitu dingin, ingin rasanya aku
menghangatkannya. Namun tiba-tiba ia menarikku dan berlari menyusuri jalanan
yang hampir tak nampak diguyuri daun merah. Andai saja suasananya sedikit lebih
baik, mungkin aku merasa menjadi seorang putri yang tengah berjalan menyusuri
karpet merah dan digandeng sang pangeran. Namun keadaannya begitu berbeda,
dibalik perasaan hangat yang kurasakan, sebagian hatiku yang lain merasa jalan
ini begitu dingin dan menusuk. Aku tak pernah ingin menikmati saat itu, karena
semakin aku mencobanya, semakin besar kerinduanku akan hal ini nanti. Kemudian ia berhenti di
jembatan tua yang menghadap ke barat. Ia masih menggenggam tanganku dan
berkata, “ Pejamkan matamu, dan rsakan apa yang ingin kau rasakan”. Suaranya
terdengar agak berat, namun begitu akrab di telingaku. Aku mengikuti apa yang
ia katakan. Menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Aku tersenyum dan
keajaiban seolah menghampiriku. Beban itu seolah terangkat perlahan dan hatiku
kini terasa lebih ringan. Terimakasih.
***
Itu hal terakhir yang kami lewati
bersama, sebelum keadaanya semakin memburuk.
Beberapa hari setelah itu,
tepatnya saat hari pengumuman pelulusan tiba. Aku mendapat panggilan telepon
dari keluarganya, yang mengabarkan bahwa kini aku tak bisa bertemu lagi
dengannya. Sesuatu seolah menghantam tubuhku keras, seketika aku ambruk dan aku
tak mampu membedakan perasaan sedih dan kecewa. Emosi ini berkecimbuk di
hatiku. Hingga aku merasa begitu kosong.
Setelah hari itu, aku benar-benar
tak lagi bisa melihat senyumnya, mendengar kata-katanya yang menyejukkan,
ataupun berlari bersama di jalanan yang tenggelam oleh daun. Aku merasa begitu
kosong, air mataku bahkan tak mampu menetes, mungkin karena aku menolak untuk
percaya. Namun ia hanya meninggalkan sepucuk surat di pohon tua yang biasa
kujadikan tempat menulis. Entah kapan ia menyelipkan kertas itu.
“Aku tahu saat matamu menyiratkan
kegelisahan. Aku tahu bahwa hal itu adalah aku. Begitu pula aku yang begitu
gelisah bagaimana cara aku menyampaikan salam perpisahan ini padamu. Maafkan
aku yang tak mampu menemanimu lebih lama memandangi senja. Maafkan aku yang tak
mampu menggenggam tanganmu lebih kuat. Maafkan aku karena kini aku tak lagi
bisa menghapus air matamu yang jatuh”.
Aku tak mampu menahan air mataku
menetes saat aku membaca setiap bait yang ia tuliskan di kertas itu. Air mata
ini bercampur dengan kenangan itu. Kenangan dimana hanya ada senyuman.
“ Namun ini hal terakhir yang aku
harapkan darimu. Jadilah seperti Dandelion, lepaskan perasaan itu, izinkan
angin membawanya ke tempat yang seharusnya. Jadilah kuat, meski tangkaimu
terlihat begitu rapuh. Jadilah tegar meski perasaanmu begitu halus. Terbangkan
mimpi itu, mimpi kita,biarkan semua itu menemui takdir mereka sendiri. Dan
kembalilah menjadi dirimu yang utuh, meski tanpa aku”.
Aku melihat setangkai bunga
Dandelion yang diikatkan pada kertas itu. Begitu halus dan rapuh. Aku menghapus
air mataku yang jauh, dan mencoba memejamkan mataku. Memikirkan segala hal yang
pernah kami lewati, setiap detik setiap langkah. Aku menarik napas dan
menghembuskannya pada bunga itu. Helai demi helai Dandelion terbang mengikuti
angin yang berhembus, bersamaan dengan perasaan itu yang perlahan terkubur,
seiring bias jingga yang tenggelam pada tempat peristirahatannya.
0 komentar:
Posting Komentar
leave the coment please