Kamis, 27 Juni 2013

Dandelion


            Aku hanya berjalan menunduk menatap jalanan yang tenggelam oleh guguran daun semerah darah. Aku menarik napas dan aroma musim gugur seketika menyeruak mengisi rongga dadaku. Langit begitu cerah dengan lelehan awan jingga, namun entahlah bagiku ini semua terasa menyakitkan. Aku tak mampu memandang jalanku dengan benar, karena cairan yang menggenang di pelupuk mataku.
Ini musim gugur terakhir untuknya. Sesuatu seolah menusuk rongga dadaku saat aku mengingatnya. Setiap langkah yang kulewati di jalan ini bersamanya. Daun-daun hanya menari dan jatuh seolah tak ada apapun yang terjadi.
Aku mengatupkan rahangku , memejamkan mata dan cairan di mataku tak mampu lagi kubendung. Perasaan ini masih nampak jelas seperti saat aku pertama kali merasakannya.
Aku lelah menunggu datangnya keajaiban, aku lelah menunggu bintang jatuh untuk sekedar berharap. Angin bahkan tak ragu menyibakkan kebenaran bahwa aku bermimpi terlalu jauh.

***
Dulu aku selalu menyimpan kertas-kertasku disini. Aku lebih sering menghasbiskan waktuku dengan menuliskan apa yang aku rasakan pada secarik kertas dan menyimpannya di bawah pohon tua di ujung jalan ini. Akupun tak mengerti mengapa aku melakukannya. Namun entahlah, hatiku merasa hal itu benar seolah setumpuk beban terangkat dari hatiku setelah aku melakukannya. Hinga suatu  hari seseorang menyimpan setangkai mawar yang dililiti kertas. Aku membuka gulungan kertas berwarna coklat muda yang khas. Namun aku tak menemukan tulisan lain pada kertas itu selain inisial seseorang. Jantungku rasanya ingin meloncat setelah aku menyadari orang itu adalah orang yang selalu kutuliskan pada lembaran kertas yang kutulis disini. Rasanya aku ingin berteriak dan tertawa.
***
Ia mengisi setiap lembar kertas yang kutulis di pohon tua ini. Begitu pula hidupku, aku tak percaya ia melangkah bersamaku melewati jalanan itu.aku tak percaya dunia mendengar doa-doaku. Rasanya seperti mimpi. Namun rasa sakit itu begitu nyata saat aku mencubit diriku sendiri.
***
Namun disaat dunia begitu indah, dunia malah membalikkan keadaan dan waktu sangat tak adil. Kini mereka seolah tak menghiraukan senyumku lagi. Ia mengambil senyum seseorang yang begitu penting dalam hidupku dan menggantinya dengan rasa sakit.
Jantungku seolah remuk saat mendengar dokter menyebutnya limfoma. Penyakit itu mengerogoti kekebalan tubuhnya membuatnya tak lagi seceria dulu. Meskipun ia mencoba melengkungkan kedua sisi bibirnya, namun aku melihat rasa sakit disana.
***
Aku mengingat setiap langkah yang kita lewati. Aku lelah menghitung setiap putaran jam yang ia lalui dengan rasa sakit. Aku lelah berharap ia akan kembali tersenyum.
Aku tahu sebenarnya ia tak pernah tersenyum, sekalipun ia mencoba melengkungkan kedua sisi bibirnya, aku tak melihatnya disana. 
Aku ingat saat ia mengisi setiap celah jariku dan menggenggamnya. Tangannya begitu dingin, ingin rasanya aku menghangatkannya. Namun tiba-tiba ia menarikku dan berlari menyusuri jalanan yang hampir tak nampak diguyuri daun merah. Andai saja suasananya sedikit lebih baik, mungkin aku merasa menjadi seorang putri yang tengah berjalan menyusuri karpet merah dan digandeng sang pangeran. Namun keadaannya begitu berbeda, dibalik perasaan hangat yang kurasakan, sebagian hatiku yang lain merasa jalan ini begitu dingin dan menusuk. Aku tak pernah ingin menikmati saat itu, karena semakin aku mencobanya, semakin besar kerinduanku akan  hal ini nanti. Kemudian ia berhenti di jembatan tua yang menghadap ke barat. Ia masih menggenggam tanganku dan berkata, “ Pejamkan matamu, dan rsakan apa yang ingin kau rasakan”. Suaranya terdengar agak berat, namun begitu akrab di telingaku. Aku mengikuti apa yang ia katakan. Menarik napas panjang dan menghembuskannya pelan. Aku tersenyum dan keajaiban seolah menghampiriku. Beban itu seolah terangkat perlahan dan hatiku kini terasa lebih ringan. Terimakasih.
***
Itu hal terakhir yang kami lewati bersama, sebelum keadaanya semakin memburuk.
Beberapa hari setelah itu, tepatnya saat hari pengumuman pelulusan tiba. Aku mendapat panggilan telepon dari keluarganya, yang mengabarkan bahwa kini aku tak bisa bertemu lagi dengannya. Sesuatu seolah menghantam tubuhku keras, seketika aku ambruk dan aku tak mampu membedakan perasaan sedih dan kecewa. Emosi ini berkecimbuk di hatiku. Hingga aku merasa begitu kosong.
Setelah hari itu, aku benar-benar tak lagi bisa melihat senyumnya, mendengar kata-katanya yang menyejukkan, ataupun berlari bersama di jalanan yang tenggelam oleh daun. Aku merasa begitu kosong, air mataku bahkan tak mampu menetes, mungkin karena aku menolak untuk percaya. Namun ia hanya meninggalkan sepucuk surat di pohon tua yang biasa kujadikan tempat menulis. Entah kapan ia menyelipkan kertas itu.
“Aku tahu saat matamu menyiratkan kegelisahan. Aku tahu bahwa hal itu adalah aku. Begitu pula aku yang begitu gelisah bagaimana cara aku menyampaikan salam perpisahan ini padamu. Maafkan aku yang tak mampu menemanimu lebih lama memandangi senja. Maafkan aku yang tak mampu menggenggam tanganmu lebih kuat. Maafkan aku karena kini aku tak lagi bisa menghapus air matamu yang jatuh”.
Aku tak mampu menahan air mataku menetes saat aku membaca setiap bait yang ia tuliskan di kertas itu. Air mata ini bercampur dengan kenangan itu. Kenangan dimana hanya ada senyuman.
“ Namun ini hal terakhir yang aku harapkan darimu. Jadilah seperti Dandelion, lepaskan perasaan itu, izinkan angin membawanya ke tempat yang seharusnya. Jadilah kuat, meski tangkaimu terlihat begitu rapuh. Jadilah tegar meski perasaanmu begitu halus. Terbangkan mimpi itu, mimpi kita,biarkan semua itu menemui takdir mereka sendiri. Dan kembalilah menjadi dirimu yang utuh, meski tanpa aku”.
Aku melihat setangkai bunga Dandelion yang diikatkan pada kertas itu. Begitu halus dan rapuh. Aku menghapus air mataku yang jauh, dan mencoba memejamkan mataku. Memikirkan segala hal yang pernah kami lewati, setiap detik setiap langkah. Aku menarik napas dan menghembuskannya pada bunga itu. Helai demi helai Dandelion terbang mengikuti angin yang berhembus, bersamaan dengan perasaan itu yang perlahan terkubur, seiring bias jingga yang tenggelam pada tempat peristirahatannya.

0 komentar:

Posting Komentar

leave the coment please

 
;